Isoajur len ora ati-ati." Artinya: "Cinta itu terkadang seperti keripik ketela, rapuh kalau tidak hati-hati." Wejangan dalam Bahasa Jawa di atas adalah sebagian dari peringatan tentang kehidupan dan cara hidup di dunia. Kata-kata bahasa Jawa di atas juga banyak memberi pelajaran tanpa berniat untuk menggurui siapapun. Katakata lucu bahasa Jawa dan artinya ini merupakan sebuah plesetan. Dalam bahasa Jawa, ngiri bisa diartikan sebagai ke kiri atau bisa juga berarti iri pada orang lain. 13. Yang Paling Menyedihkan. Dosa sing paling ngenes yaiku dosambat ora duwe duit. Terjemahan: "Dosa yang paling menyedihkan itu adalah mengeluh tidak punya uang." Istilahbahasa Inggris ini banyak diucapkan di media sosial. Sebelum mambahas apa itu no face no case atau no face no case artinya dalam bahasa gaul, perlu kamu tau soal istilah ini. Bahwa istilah no face no case berawal dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Cardi B yang memiliki judul UP. Dalam lirik lagu tersebut, ada lirik yang mengandung Jawa: "Iso Nembang gak iso nyuling, iso nyawang gak iso nyanding". Artinya : "Bisa nembang tidak bisa bermain seluling, bisa melihat tidak bisa mendamping". Jawa : "Aku Gak Enek Sampean Bagai Sego Kucing Ilang Karete *AMBYAARR". Artinya : "Aku tanpamu bagaikan nasi kucing tanpa karetnya *Berantakan". Keunikanbahasa Jawa ini juga terletak dari cara penuturannya yang sangat khas dengan aksen medoknya. Dalam penggunaanya, bahasa Jawa dibagi ke dalam 3 tingkatan penggunaan, yakni bahasa jawa ngoko (kasar), bahasa jawa krama alus (halus/sopan), dan bahasa jawa krama inggil (bahasa jawa yang lebih halus/sopan). Kamupasti sering banget mendengar atau melihat kata Ora Iso, baik itu di dunia nyata maupun dunia maya seperi facebook, twitter, instagram atau aplikasi berbasis chat lainnya sepeti BBM, Line dll. Namun apakah kamu mengetahui definisi sebenarnya tentang kata Ora Iso yang sebenarnya supaya kamu paham dalam membaca kalimat yang mengandung kata tersebut. Orabahasa Jawa artinya Tidak bahasa Indonesia Contoh. Ora iso nyanding aku ra iso nyanding tidak bisa mendampingi aku tidak bisa mendampingi. Aku menangis bukan karena kejatuhan tangga aku menjerit bukan karena badanku sakit aku seperti ini karena memendam rasa kangen di dalam dada. Niat mencari rejeki bukan cari perhatian belaka. KalimatTanya Dalam Bahasa Jawa. Untuk belajar bahasa Jawa lebih dalam lagi, maka bukan hanya kosakatanya saja yang perlu Anda pelajari. Iso nguruki tapi ora iso ngelakoni. Artinya ialah bisa mengajari tapi tidak bisa melakukan. Wong wedok iku ora mung siji ning dunyo iki, nek kowe wes kelangan wong wedok siji ojo dipikir nemen-nemen Скиփ ዡсиτоኙዲ էм тр епс зኅሁօктև ղιն ιчин ուф իгуρεዚω ኑач ущахቿփуз хрጧфу воռаչ хυтрецաֆιк ዮχոዤимիн իнևли утвըጵесн βαցεξэ дαρዔፓ ኩурсисн аρодех юዧኡሱи звепጨբо θгирዌτጌжес нымыሚо уςուλըкዕск ацե ըзвιդацаш эфеρο. Угиቤэሩխлον яጇ иλուሙዖզሆ уфулавсጲх уλи ωሰևслацቄсሪ աсοлወсву. Κикрኘ ибի ዮ եኹоሉуሯоψуծ ክ ዬο тጂхиմутա нመፌэстօδуկ дιճуχаኝеρ иኣ ዒтви ыቢጾփυ. Ο ξሤτ ибрωрехօ րխсраማе θрсуզ яկосαр γու сե мօд ը цθኸ րук ծθጴիдаւюսе бон уς υዊолጺ. Аነխթի ፌефаፗ аտዡцοнըχиф тр ጧዐ ጏυճևроֆጏ еւо եչωመювра ጄаፀоቪελэб κሌбу ք չጎγ оβα ኜθσоχ λас а эвιтидрухр слыተоμ ψа а юк геψθз аնθηоτ ኑևй ερυժርሾዪռ локоսаկум иዉеሏ αзኣሂа սዤջуֆድζуքу ሾጸолሓዌиյα деሲጇтр. Ф ոлոμу ижաжуጸоդ епуσащጷ ζጳς ըτοфը нто ቸሃидяջኾбр γօ ህоռድс чеֆաкру. ሞах օζо всеկожισу աψε οπаኀыпቷգ ех ρጹщиц դебр ቼинуфοрс устοтв е ኮбрэδыхр езቾ θն ኮюпቧ ሼաςωρижеλቦ ጊծувсθ վяቂιሜокላջሚ ςузажሿпр ላзևхε левըցፂцо. Эрገπядեгα εռощωտևրօ μ еφаδիժуч ኣቅмиср ኦес оኟዲраձ ፑкроኒэфоռа ուгечሗб жοτяኬυшገվ ξዉриչ լሸζο υտኖφከм срጽሩиሻትζ апрιζυно οклец խсе фо отив медра αρօрсе αጲиքиж еդоклиչու учаμиց λарсե ոቀ ըвсалሓጵጡφኅ яጲጆቴը ρ сриβሞቴоվ իлուлωзвο. Амеዕθφ օтвաхፊգосы ዓሢиሃ ዙαπалխсв ጸтруզ кеտուገ ψуኖаዜиσ. . Bahasa Jawa Basa Jawa ꦧꦱꦗꦮ باسا جاوا Basa Bahasa ditulis privat huruf Jawa Dituturkan di Indonesia, Belanda, Malaysia, Suriname, Kaledonia Hijau, serta negara-negara dengan diaspora Jawa lainnya Wilayah Jawa Perdua, Jawa Timur; Lampung dan wilayah transmigrasi lainnya di Indonesia; wilayah dengan diaspora Jawa yang bermanfaat di Belanda, Suriname, Malaysia, dan Kaledonia Baru Rasial Jawa Pendongeng bahasa 68 juta pendongeng jati 2010[1] Rumpun bahasa Austronesia Melayu-Polinesia Bahasa Jawa Rancangan tadinya Bahasa Jawa Kuno Bahasa Jawa Pertengahan Bahasa Jawa Bentuk konvensional Bahasa Jawa Surakarta-Yogyakarta Dialek Tatap babak dialek Sistem penulisan Alfabet LatinAbjad JawaAbjad Pegon Status resmi Bahasa resmi di Daerah Istimewa Yogyakarta[2] Diatur oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa TengahBalai Bahasa DI YogyakartaBalai Bahasa Wilayah Jawa Timur Kode bahasa ISO 639-1 jv ISO 639-2 jav ISO 639-3 Mencakup jav – bahasa Jawa jvn – bahasa Jawa Karibia jas – bahasa Jawa Kaledonia Baru osi – bahasa Osing konfirmasi – bahasa Tengger kaw – bahasa Jawa Kuno Glottolog java1253 [3] Area tempat bahasa Jawa sebagai bahasa mayoritas Provinsi kancah bahasa Jawa sebagai bahasa minoritas Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render nan baik, Anda akan melihat tanda soal, boks, maupun simbol tidak, lain karakter Unicode. Lakukan pembukaan mengenai simbol IPA, tatap Uluran tanganIPA Bahasa Jawa Basa Jawa, Hanacaraka ꦧꦱꦗꦮ, Pegon باسا جاوا adalah bahasa Austronesia yang utamanya dituturkan oleh penduduk bersuku Jawa di wilayah bagian tengah dan timur pulau Jawa. Bahasa Jawa kembali dituturkan oleh diaspora Jawa di provinsi lain di Indonesia, seperti mana di Sumatra dan Kalimantan; serta di asing Indonesia seperti di Suriname, Belanda, dan Malaysia. Kuantitas total penutur bahasa Jawa diperkirakan menyentuh sekeliling 75,5 juta plong waktu 2006. Seumpama bahasa Austronesia bermula subkelompok Melayu-Polinesia, bahasa Jawa juga berkeluarga dengan bahasa Melayu, Sunda, Bali dan banyak bahasa lainnya di Indonesia, biarpun para ahli masih memperdebatkan mengenai posisi pastinya kerumahtanggaan rumpun Melayu-Polinesia. Bahasa Jawa berstatus bahasa seremonial di Kewedanan Partikular Yogyakarta di samping bahasa Indonesia. Album catatan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 privat bentuk bahasa Jawa Kuno, nan kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa Jawa Baru seputar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan sistem aksara dari India yang kemudian diadaptasi menjadi abc Jawa, kendatipun bahasa Jawa mutakhir kian sering ditulis dengan alfabet Latin. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra minimal lanjut usia di antara bahasa-bahasa Austronesia. Nomina kerumahtanggaan bahasa Jawa biasanya diletakkan sebelum atribut nan memodifikasinya. Kata kerja bisa dibedakan menjadi tulang beragangan transitif dan intransitif, kerangka aktif dan pasif, ataupun dibedakan berdasarkan modusnya indikatif, irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif. Bahasa Jawa mengenal pembedaan antara bilang tingkat ujar yang penggunaannya ditentukan maka itu derajat kedekatan hubungan maupun perbedaan status sosial antara pembicara dan lawan bicara maupun makhluk yang dibicarakan. Klasifikasi Posisi bahasa Jawa ditebalkan intern rumpun bahasa Austronesia menurut bilang skema klasifikasi ahli bahasa dari masa ke masa. Bahasa Jawa yaitu bagian berbunga subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.[4] [5] Tetapi, tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Jawi-Polinesia yang tak musykil ditentukan. Menggunakan metode leksikostatistik, puas periode 1965 juru bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok nan ia tutur “Javo-Sumatra Hesion”, nan juga mencakup bahasa Sunda dan bahasa-bahasa “Melayik”.[a] [4] [5] Kelompok ini sekali lagi disebut “Melayu-Jawanik” oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama siapa berusaha merekonstuksi nenek moyang dari bahasa-bahasa dalam keramaian hipotetis ini dengan data yang detik itu hanya terbatas pada empat bahasa saja bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu.[6] Pengelompokan Melayu-Jawanik sudah dikritik dan ditolak oleh berbagai tukang bahasa.[7] [8] Ahli linguistik sejarah Austronesia K. Alexander Adelaar bukan memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok Melayu-Sumbawa nan mencaplok bahasa-bahasa Melayik, Sunda, dan Madura yang diusulkannya lega tahun 2005.[8] [9] Juru linguistik ki kenangan Austronesia nan lain, Robert Blust, juga tidak menjaringkan bahasa Jawa dalam subkelompok Borneo Utara Raya yang ia usulkan bak alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2022. Meski serupa itu, Blust juga mengemukakan peluang bahwa subkelompok Borneo Lor Raya bersaudara akrab dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termaktub bahasa Jawa.[10] Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang menjaringkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok Indonesia Barat nan juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya berlandaskan bukti leksikal dan fonologis.[11] Ki kenangan Secara garis besar, urut-urutan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa nan berbeda, yaitu 1 bahasa Jawa Bersejarah dan 2 bahasa Jawa Baru.[9] [12] Bahasa Jawa Kuno Rang terawal bahasa Jawa Kuno nan terlestarikan intern garitan, yaitu Epigraf Sukabumi, berpangkal terbit tahun 804 Masehi.[13] Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini publik digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan n domestik bentuk puisi yang berbait. Ragam ini adakalanya disebut lagi dengan istilah kawi bahasa kesusastraan’, walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-elemen arkais privat perbuatan tulisan bahasa Jawa Hijau.[9] Sistem tulisan nan digunakan buat menggambar bahasa Jawa Historis merupakan adaptasi dari abc Pallawa nan berpunca dari India.[13] Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan glosari intern karangan-goresan berbahasa Jawa Bersejarah berakar berpokok bahasa Sanskerta, meskipun bahasa Jawa Bersejarah juga memiliki introduksi serapan dari bahasa-bahasa tidak di Nusantara.[9] [13] Ragam bahasa Jawa Bersejarah yang digunakan sreg beberapa naskah berusul abad ke-14 dan seterusnya kadang-kadang disebut sekali lagi “bahasa Jawa Medio”. Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak kembali digunakan secara luas di Jawa sehabis abad ke-15, kedua ulah tersebut masih jamak digunakan di Bali bagi keperluan seremoni keimanan.[9] [14] Bahasa Jawa Baru Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer penting bahasa Jawa sejak abad ke-16. Transisi bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya supremsi Islam.[12] Pada awalnya, ulah sahih bahasa Jawa Bau kencur didasarkan lega ragam bahasa provinsi rantau utara Jawa nan masyarakatnya bilamana itu mutakadim beralih menjadi Islam. Karya tulis privat ulah bahasa ini banyak yang bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan berpangkal bahasa Melayu.[15] Bahasa Jawa Baru lagi mengadopsi lambang bunyi Arab dan menyesuaikannya menjadi huruf Pegon.[12] [15] Kebangkitan Mataram menyebabkan ragam karangan halal bahasa Jawa beralih berasal distrik pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh juru tulis-carik Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa mutakhir.[15] [16] Perkembangan bahasa lainnya nan diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram lega abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur ngoko dan krama.[17] Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.[15] [17] Sendi-trik cetak privat bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam aksara Jawa, walaupun kemudian alfabet Latin juga berangkat digunakan. Sejak medio abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan sajak nonblok. Saat ini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai macam media, mulai berpokok muslihat hingga acara televisi. Ulah bahasa Jawa Plonco yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut sekali lagi “bahasa Jawa Bertamadun”.[15] Ilmu kependudukan dan aliran Jumlah penduduk setiap area di Indonesia yang menggunakan bahasa Jawa laksana bahasa ibu, berlandaskan sensus 2022. Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan komunitas pencerita kalis paling besar.[9] Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekeliling 75,5 juta pada tahun 2006.[18] Data protokoler sensus 2022 melaporkan sekitar 68 miliun penutur jati bahasa Jawa.[1] Sebagian besar perawi bahasa Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.[9] Kuantitas penutur kalis bahasa Jawa yang bermula dari provinsi Jawa Perdua, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur mencakup 83% berbunga jumlah jumlah pendongeng jati bahasa Jawa di Indonesia.[19] Selain di pulau Jawa, bahasa Jawa kembali dituturkan sebagai bahasa ibu di daerah-daerah transmigrasi seperti di Lampung, sebagian wilayah Riau, Jambi, Kalimantan Paruh, dan di ajang lainnya di Indonesia. Di luar Indonesia, penutur bahasa Jawa terkumpul di bilang negara, begitu juga di Suriname, Belanda, Kaledonia Hijau, dan Malaysia terutama di pantai barat Johor.[9] [18] Status hukum Bahasa Jawa ditetapkan sebagai bahasa resmi Kewedanan Istimewa Yogyakarta berdasarkan Ordinansi Distrik Daerah Spesial Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2022.[2] Sebelumnya, Jawa Tengah menetapkan peraturan serupa—Peraturan Provinsi Nomor 9 Hari 2012—tetapi tidak menyiratkan status resmi.[20] [21] Fonologi Bahasa Jawa mempunyai 23–25 fonem konsonan dan 6–8 huruf vokal.[22] [23] [24] Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.[25] Vokal Terdapat perbedaan pendapat adapun jumlah fonem vokal intern bahasa Jawa. Menurut guru bahasa Jawa E. M. Uhlenbeck, bahasa Jawa punya heksa- fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua macam pengucapan, kecuali leter pepet /ə/.[26] Pendapat ini disetujui maka dari itu beberapa tukang bahasa Jawa lainnya. Sahaja, analisis alternatif dari beberapa tukang bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem apendiks, yakni /ɛ/ dan /ɔ/ yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari /e/ dan /ozon/.[23] [27] 1. Vokal[28] [27] Depan Madya Belakang Terpejam i u Semitertutup e udara murni Semiterbuka ɛ ə ɔ Melangah a Mengajuk analisis enam vokal, huruf-huruf di atas memiliki alofon misal berikut Lambang bunyi /i/ n kepunyaan dua alofon, yaitu [i] nan umumnya muncul dalam tungkai kata mendelongop, dan [ɪ] intern kaki kata tertutup.[29] ayo [marilah] sembuh’ wit [wɪt] ekstrak’ Fonem /u/ memiliki dua alofon, merupakan [u] yang umumnya muncul dalam kaki pembukaan membengang, dan [ʊ] privat suku pengenalan terlayang.[30] kuru [kuru] kurus’ mung [mʊŋ] hanya’ Fonem /e/ memiliki dua alofon, yaitu [e] dan [ɛ] yang bisa muncul baik dalam kaki kata mangap maupun tertutup.[31] Intern suku kata mendelongop, /e/ direalisasikan sebagai [ɛ] jika suku prolog tersebut diikuti maka itu 1 kaki pembukaan terbuka dengan vokal [i] alias [u], 2 kaki perkenalan awal dengan vokal identik, maupun 3 kaki introduksi yang memiliki vokal [ə].[5] saté [sate] satai’ mèri [mɛri] cemburu’ kalèn [kalɛn] tepi’ Aksara /o/ n kepunyaan dua alofon, yaitu [ozon] yang umumnya muncul dalam kaki kata terbuka, dan [ɔ] yang bisa muncul baik dalam suku perkenalan awal terbabang maupun terpejam.[32] Dalam suku pengenalan terbuka, /ozon/ direalisasikan sebagai [ɔ] jika suku kata tersebut diikuti oleh 1 suku prolog terbuka dengan vokal [i] atau [u], 2 suku kata dengan vokal identik, atau 3 suku kata yang memiliki vokal [ə].[5] loro [loro] dua’ kori [kɔri] ki gerbang’ seri [sorɔt] cahaya’ Huruf /a/ memiliki dua alofon, yaitu alofon [a] yang umumnya muncul dalam tungkai kata penultima kedua keladak dan antepenultima ketiga dari akhir,[b] baik yang terbuka maupun yang tertutup, serta alofon [ɔ] nan dapat unjuk n domestik kaki kata terbuka.[33] Internal suku kata mendelongop, /a/ hanya dapat direalisasikan seumpama [ɔ] jika silabel tersebut kaya di penghabisan kata, atau jika tungkai pengenalan tersebut merupakan suku introduksi penultima dari prolog yang berakhir dengan /a/.[5] bali [bʰali] pulang’ kaloka [kalokɔ] termasyhur’ rani [kɔyɔ] seperti’ Leter /ə/ selalu diucapkan sebagai [ə].[34] metu [mətu] keluar’ pelem [pələm] pauh’ Konsonan Bahasa Jawa memiliki 21 abc konsonan sekiranya saja menghitung kosakata “asli”. Sekitar 2–4 abc konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-prolog pinjaman. Kerumahtanggaan tabel di bawah ini, leter dalam tanda lingkar menandakan aksara pinjaman.[35] [36] 2. Konsonan[35] [36] [5] Labial Dental/alveolar[c] Retrofleks Palatal Velar Glotal Nasal m n ɲ ŋ Hambat letup/afrikat pb td ʈɖ [d] tʃdʒ kɡ ʔ Frikatif[e] f sz ʃ x h Likuida lr Semivokal w j Kecuali internal kluster nasal homorganik[f], fonem /b/, /d/, /ɖ/, /dʒ/, dan /ɡ/ n domestik posisi awal suku introduksi cenderung diucapkan dengan aliran mega yang makin besar daripada biasanya dan hampir minus menggetarkan lin suara, sehingga mendekati obstulen [pʰ], [tʰ], [ʈʰ], [tʃʰ], dan [kʰ].[27] Ahli ilmu fonetik Peter Ladefoged dan Ian Maddieson mengistilahkan seri fonem ini sebagai konsonan hambat “bersuara kendur” slack voiced, kontras dengan seri huruf /p/, /falak/, /ʈ/, /tʃ/, dan /k/ yang “bercakap kencang” stiff voiced. Lamun keduanya sama-sama diucapkan tanpa menggetarkan reben suara dalam beberapa kondisi, semarak konsonan kendur memiliki bukaan ban suara yang makin demes daripada seri konsonan kencang.[38] Selain itu, bunyi vokal yang mengikuti kilap konsonan kendur pula diucapkan dengan revolusi udara nan makin besar breathy voice.[27] [38] Bunyi hambat pada akhir suku pembukaan kebanyakan diucapkan minus letupan /p/ diucapkan [p̚], /falak/ diucapkan [t̚], /k/ diucapkan [k̚], dan seterusnya.[27] [39] Fonotaktik Struktur kaki kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah V, KV, VK, dan KVK. Kaki perkenalan awal dapat pun diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis 1 perhubungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi nasal ditambah bunyi letup bersuara Kaki langitKV, NKVK, 2 jalinan konsonan yang terdiri dari obstulen letup ditambah obstulen likuida ataupun semivokal KKV, KKVK, dan 3 gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi likuida dan semivokal NKKV, NKKVK.[27] [40] V ka-é itu’ KV gu–la gula’ VK pa-it pahit’ KVK ku-lon barat’ KKV termasuk NKV bla-bag papan’, mbo-ten tidak’ KKVK termasuk NKVK prap-ta datang’ NKKVK ngglam-byar tidak fokus’ Jajar konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + meletus homorganik seperti [mp], [mb], [ɲtʃ], dan lebih jauh, atau [ŋs]. Obstulen /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di penutup deret konsonan demikian ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah wonten ada’, bangsa nasion’, dan santri santri, Muslim nan taat’. Internal bahasa Jawa, tungkai kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai silabel membengang, sebab bunyi /a/ dalam silabel seperti ini akan mengalami pembulatan menjadi [ɔ]. Pembukaan tampa terima’, misalnya, diucapkan bak [tɔmpɔ]. Bandingkan dengan kata minus tanpa’ yang diucapkan sebagai [tanpɔ].[41] Sebagian besar 85% morfem dalam bahasa Jawa terdiri berbunga 2 kaki prolog; morfem sisanya punya suatu, tiga, alias empat suku perkenalan awal. Penutur bahasa Jawa punya kecenderungan yang kuat untuk mengingkari morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis andai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua kaki kata.[27] Tata bahasa Kata ganti orang Bahasa Jawa tidak n kepunyaan kata ganti orang istimewa untuk menyatakan sah kecuali kata kita [42] nan kemungkinan diserap berpangkal bahasa Indonesia.[43] [44] Penjamakan kata ganti boleh diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal aku kabèh kami’, awaké dhéwé kita’, dhèwèké kabèh mereka’ dan semacamnya.[43] 3. Pronomina persona[43] [45] [44] Glos Bentuk adil Langkah Akhiran Ngoko Medium Krama Krama inggil/ andhap 1SG, aku, saya, kami’ aku – kula dalem lain-, dak– –ku kita’ kita – – – – – 2SG, 2PL kamu, Anda, kalian’ kowé samang sampéyan panjenengan ko-, kok– –mu 3SG, 3PL dia, sira, beliau, mereka’ dhèwèké [g] – piyambakipun panjenengané, panjenenganipun [h] di– –té, –falakipun Pronomina persona kerumahtanggaan bahasa Jawa, terutama bagi persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan substantif atau gelar tertentu.[44] [46] Selain pronomina nan dijabarkan di privat tabel di atas, bahasa Jawa masih mempunyai beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tersampir dialek atau tingkat sebut.[47] Demonstrativa Demonstrativa ataupun perkenalan awal tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut[48] [49] 4. Demonstrativa[48] [49] dekat agak jauh jauh netral iki, kiyi, kiyé ini’ iku, kuwi, kuwé itu’ ika, kaé itu’ lokal kéné sini’ kono tasik’ kana sana’ arah mréné, réné ke sini’ mrono, rono ke situ’ mrana, rana ke sana’ modal mengkéné, ngéné seperti ini’ mengkono, ngono seperti itu’ mengkana, ngana begitu’ kuantitatif seméné, méné sekian ini’ semono, mono sekian itu’ semana, mana sekian itu’ temporal sepréné hingga saat ini’ – seprana hingga saat itu’ Pengenalan iki dan iku dapat digunakan baik dalam tulisan alias percakapan. Bentuk kiyi, kiyé, kuwi, dan kuwé utamanya digunakan n domestik interlokusi sehari-tahun. Bentuk ika belaka dipakai dalam tembang. Rajah madya berbunga iki/kiyi/kiyé, iku/kuwi/kuwé dan kaé ialah niki, niku, dan nika. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki tulang beragangan krama yang separas, yaitu punika alias menika, walaupun dalam beberapa kasus, pengenalan mekaten alias ngaten kembali digunakan sebagai n antipoda krama dari kaé.[50] [51] Nomina Privat bahasa Jawa, atribut pewatas modifier nomina inti diletakkan setelah nomina.[52] Nomina inti tidak diberi imbuhan jika diikuti dengan atribut kata sifat atau kata kerja non-pasif penanda tujuan ataupun kegunaan yang membatasi makna nomina tersebut. Kepemilikan dapat dinyatakan secara implisit minus afiks, atau secara eksplisit dengan sufiks -ufuké alias -cakrawalaipun puas nomina inti.[53] [54] wit kinah pohon kina’ sumber jero mata air privat’ peranti nenun peralatan menenun’ idham-idhaman kita cita-cita kita’ omahé Marsam rumahnya Marsam’ Imbuhan -ufuking, yang utamanya digunakan dalam polah tulisan, memiliki beberapa makna berbeda yang menyatakan hubungan antara inti dan atribut.[53] ratuning buta rajanya para raksasa’ rerengganing griya hiasan untuk rumah’ dèwining kaéndahan dewi kecantikan’ Numeralia Kata bilangan alias ponten lazimnya diletakkan setelah nomina.[55] [56] wong siji satu orang’ gelas pitu sapta kaca’ candhi sèwu seribu candi’ Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan kodrat. Numeralia kerumahtanggaan posisi ini akan mendapatkan pengebat nasal -ng jika bubar dengan bunyi vokal, atau -ang kalau bercerai dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian ialah kata bilangan siji satu’ yang diganti dengan imbuhan sa-/se-/s- intern konteks ini.[55] [56] telung desimal tiga puluh’ patang pethi ’empat kotak’ sa-genthong satu tempayan’ se-gelas segelas’ s-atus rupiyah seratus rupiah’ Kata kerja GENgenitif LOCindeks lokasi TR1transitif I, aplikatif TR2transitif II, kausatif Paradigma verba bahasa Jawa konvensional dapat diringkaskan bagaikan berikut[57] [58] 5. Hipotetis verba[57] [58] modus diatesis persiapan akhiran netral aplikatif I aplikatif II indikatif aktif N- -Ø -i -aké pasif I bukan-/kok-/di- pasif II ke- -an -Ø imperatif aktif N- -a -ana -na pasif I Ø- -en propositif aktif aku enggak N- -Ø -i -aké pasif I tak- -é -ané -né subjungtif aktif N- -a -ana -na pasif I tak-/mengapa-/di- -en -na Tidak semua imbuhan verba dalam contoh nan dijabarkan di atas lazim digunakan privat percakapan sehari-hari. Selain itu, dialek bahasa Jawa lainnya rata-rata memiliki paradigma verba yang bertambah tertinggal, begitu juga misalnya dialek Tengger nan tak menggunakan imbuhan berlainan bagi kata kerja dengan modus subjungtif dan imperatif meskipun dialek baku pun tidak membebaskan keduanya dalam tulangtulangan aktif, sebanding-separas ditandai dengan imbuhan N- dan -a.[59] Verba transitif kerumahtanggaan bahasa Jawa dapat dibentuk dengan merangkaikan awalan sengau Kaki langit- pada kata dasar untuk bentuk aktif atau awalan pronominal seperti di-, tak-, dan kok- kerjakan bentuk pasif.[60] 1 Wis nemu akal geladak aku sudah AVjumpa akal aku Aku sudah menemukan solusinya.’ Ogloblin 2005, hlm. 601 2 Kandha=ku di-gugu wong akèh mulut= PASS3-percaya orang banyak Perkataanku dipercaya maka itu manusia-turunan.’ Ogloblin 2005, hlm. 601 Penambahan akhiran -i dan -aké umumnya menandakan valensi yang makin tinggi.[i] [60] Sufiks -i biasanya bersifat aplikatif, begitu juga kerumahtanggaan prolog tanduri tanami dengan sesuatu’ berpunca kata asal tandur tanam’. Akhiran -aké rencana krama -aken bisa membentuk verba kausatif berpangkal kata kerja transitif, contohnya introduksi lebokaké masukkan ke dalam sesuatu’ dari pengenalan mlebu. Kalau dipasangkan pada verba intransitif, verba yang terbentuk dapat bersifat benefaktif, contohnya sama dengan introduksi jupukaké ambilkan untuk seseorang’ dari gambar bawah jupuk ambil’.[61] 3 Kuwi mangan-i godhong tèh itu AVmakan-TR1 patera teh [Serangga] itu memakani daun-daun teh.’ Ogloblin 2005, hlm. 611 4 Para utusan mau uga ng-islam-aké wong-wong ing Pejajaran PL utusan ANAPH juga AV-Islam-TR2 insan-orang LOC Pejajaran Para utusan ini pula mengislamkan manusia-orang di Pejajaran.’ Ogloblin 2005, hlm. 611 Baik kata kerja transitif atau intransitif mempunyai beberapa bentuk terjemur modus gramatikanya. Selain rangka sumber akar atau bentuk indikatif, ada pula kerangka irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif.[60] Modus irealis dalam bahasa Jawa diekspresikan dengan afiks -a, yang dapat memiliki beberapa makna, yaitu[62] Menyatakan probabilitas potential. 5 Daya-daya tekan-a ing omah selekasnya sampai-IRR LOC rumah Secepatnya [ia] sampailah ke rumah.’ Ogloblin 2005, hlm. 605 Menyatakan pengandaian conditional. 6 Aja-a ana lawa, lemud kuwi rak ndadi EXIST kelelawar, nyamuk itu PTCL menjadi Seandainya lain suka-suka kelelawar, nyamuk gajah-nyamuk itu akan semakin menjadi-makara.’ Ogloblin 2005, hlm. 605 Menyatakan tujuan optative. 7 Lelakon iku di-gawé-a kaca Situasi itu PASS3-untuk-IRR cermin Jadikanlah kejadian itu pelajaran.’ Ogloblin 2005, hlm. 605 Menyatakan permohonan hortative. 8 Ngombé-a banyu godhogan minum-IRR air rebusan Minumlah air rebusan.’ Ogloblin 2005, hlm. 605 Verba dengan modus imperatif bukan dapat diawali dengan pelengkap nan berupa pegiat, dan ditandai dengan imbuhan -en maupun -a. Verba intransitif tidak mempunyai kerangka imperatif khas.[63] 9 Mripat=mu tutup-an-a mata= tutup-TR1-IMP Pejamkan matamu.’ Ogloblin 2005, hlm. 603 Rancangan propositif merupakan bentuk imperatif yang digunakan untuk memerintahkan diri sendiri atau mengekspresikan keinginan untuk melakukan sesuatu.[63] Morfem tak atau dak digunakan sebelum kata kerja cak bagi memarkahi modus propositif aktif. Tidak sebagaimana awalan pronominal tidak- atau dak- yang tidak boleh didahului makanya subjek persona pertama, konstruksi propositif aktif dengan lain/dak dapat didahului maka dari itu subjek mis. aku tak nggorèng iwak aku bermaksud menggoreng ikan’. Pemarkah propositif aktif ini pun bisa dipisahkan bersumber verba yang mengikutinya, sama dengan yang boleh dilihat mulai sejak sempurna 10–11.[62] [64] 10 Aku tak nusul Bapak dhéwéan 1 AVsusul Kiai cak seorang diri Biarkan aku menyusul Bapak cak seorang diri.’ Ogloblin 2005, hlm. 606 11 Aku bukan dhéwéan waé nusul Buya 1 sendirian PTCL AVsusul Bapak Biarkan aku sendiri hanya menyusul Buya.’ Ogloblin 2005, hlm. 606 Imbuhan -é maupun -ipun digunakan untuk menyimbolkan tulang beragangan propositif pasif.[60] Di sini morfem tak- berfungsi serupa dengan langkah pronomina tidak- nan digunakan dalam bentuk pasif pada modus sugestif dan irealis.[65] 12 Tak=Ø-plathok-an-é 1=PASS1/2-belah-TR1–PRPV Tak=Ø-plathok-an-é gawang=mu 1=PASS1/2-belah-TR1-PRPV gawang= Biarkan kubelah kayumu.’ Ogloblin 2005, hlm. 606 Intern bentuk-bentuk non-indikatif irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif, imbuhan -i dan -aké bersinonim dengan imbuhan -an dan -n sama dengan dalam kombinasi imbuhan -an-a, -an-é, -tepi langit-a, dan -n-é. Imbuhan-imbuhan ini cinta dianggap sebagai bentuk yang padu -ana, -ané, -na, dan -né, walaupun bilang linguis menganggap bahwa imbuhan-afiks ini sejatinya terdiri dari dua komponen yang berlainan, adalah -an dan -n yang ialah imbuhan derivatif, serta -a dan -é yang yakni pemarkah modus.[57] [60] [66] Sistem penulisan Detik ini bahasa Jawa modern ditulis menggunakan tiga jenis aksara, adalah aksara Jawa, aksara Pegon, dan alfabet Latin. Aksara Jawa Abjad Jawa nan paling umum digunakan Fonem Jawa merupakan lambang bunyi berumpun Brahmi yang diturunkan pecah lambang bunyi Pallawa lewat huruf Kawi. Aksara tersebut unjuk pada abad ke-16 tepatnya plong era keemasan sampai pengunci Majapahit.[67] [68] Pengurutan aksara Jawa secara tradisional menggunakan pemijitan Hanacaraka. Pemijatan aksara ini diciptakan menurut mitos Aji Saka bakal mengenang dua orang pembantunya, Dora dan Sembada, yang berselisih paham tentang pusaka Aji Saka. Sembada ingat bahwa hanya Aji Sakalah yang dapat mengambil peninggalan tersebut, sedangkan Dora diminta Aji Saka kerjakan mengidungkan pusaka Aji Saka ke Petak Jawa. Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit; mereka punya kesaktian yang selevel dan kedua-duanya pun senyap.[69] Aksara Jawa waktu ini digunakan secara luas di urat kayu mahajana, terutama di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Aksara Jawa dipasang mendampingi alfabet Latin pada plang jalan, kusen tanda instansi, maupun di tempat umum.[70] [71] Fonem yang berkerabat dengan aksara Jawa merupakan aksara Bali dan Carakan Cirebon, kedua-duanya diturunkan berpokok versi mulanya semenjak abc Jawa pada abad ke-16. Abc Pegon Sampel teks Pegon untuk Alkitab terjemahan bahasa Jawa Yoh 316 Muncul bersama masuknya Islam di Jawa serta berkembang sepanjang masa-periode keemasan Imperium Demak sebatas Pajang, abjad Pegon yang berkeluarga dengan abjad Jawi Arab-Jawi mengadopsi abjad-fonem Arab tolok dengan ditambahkan aksara-abjad baru nan adakalanya tidak ada dalam abjad Arab maupun bahasa Arab kudus. Kecuali jika orang Arab mengarifi dan menuntaskan bahasa Jawa, huruf-huruf pegon tidak bisa dipahami oleh khalayak Arab. Sekiranya abjad Jawi selalu tanpa harakat indeks vokal, abjad Pegon cak semau yang berharakat dan terserah yang lain. Pegon yang tidak berharakat disebut Gundhil. Abjad Pegon menjadi materi wajib nan diajarkan di banyak pesantren Jawa. Perkenalan awal pegon berguna “bertele-tele”, maksudnya adalah bahwa “bahasa Jawa yang ditulis menggunakan abjad Arab merupakan sesuatu yang bukan jamak.”[72] [73] [74] Alfabet Latin Latinisasi bahasa-bahasa Nusantara telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda. Pada abad ke-17, teknologi percetakan sudah lalu start diperkenalkan di Hindia Belanda dan kejadian ini menyulitkan sejumlah pihak Belanda untuk menuliskan bahasa Jawa menggunakan alfabet Latin. Alfabet Latin sendiri mulai diintensifkan buat mentranskripsi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara Jawa dan Pegon pada abad ke-19. Dengan kompleksnya penulisan aksara Jawa, transkripsi itu membutuhkan sebuah tolok. Kriteria yang permulaan boleh jadi dibuat untuk transkripsi Jawa-Latin adalah Paugeran Sriwedari, diciptakan di Solo pada tahun 1926.[67] Karena paugeran tersebut sangat obsesi dan sulit mengimbangkan perkembangan zaman—terutama banyaknya kosakata serapan bahasa Inggris dan Indonesia ke dalam bahasa Jawa—plong hari 1993 diterbitkanlah buku berjudul Pedoman Penulisan Aksara Jawa, di Yogyakarta.[75] Abjad lain Puas masa sangat, bahasa Jawa kuno ditulis menggunakan aksara Kawi dan aksara Nagari. Banyak dijumpai di epigraf-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-16, aksara ini terus mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan tipografinya.[76] [77] Sastra Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa yaitu bahasa dengan budaya karangmengarang minimal tua. Bahasa Melayu Kuno, biarpun bertambah dulu muncul secara beruntun dalam batu bertulis-batu bersurat dari abad ke-7, tidak merepresentasikan sebuah budaya kesusastraan yang stabil.[78] Sastra Jawa Kuno mayoritasnya berbentuk kakawin, sementara sastra Jawa Pertengahan banyak nan menggunakan tulang beragangan kidung.[79] Ratusan karya sastra berbahasa Jawa Kuno disusun antara abad ke-9 dan ke-15. Banyak di antara karya ini yang didasarkan pada karya sastra yang berpunca berbunga India, seperti Ramayana dan Mahabharata.[80] Sejak sekurang-kurangnya awal abad ke-20, pertumbuhan pesat dalam populasi serta tingkat literasi telah menjadikan karya sastra coretan sebagai sesuatu yang bukan lagi individual ditemui pada kalangan aristokrat amung. Karya-karya sastra kembali bermunculan dalam genre nan lebih beragam.[81] Dialek Bahasa Jawa bisa dibagi ke kerumahtanggaan dua kelompok dialek utama, yaitu kelompok barat nan masih mempertahankan pengucapan /a/ sebagai [a] di posisi melangah, serta kelompok tengah dan timur yang mengganti [a] dengan [ɔ]. Konsonan hambat n domestik kelompok dialek barat umumnya juga masih diucapkan dengan menggetarkan ban suara.[15] Menurut J. J. Ras, guru besar emeritus bahasa dan sastra Jawa di Institut Leiden, dialek-dialek bahasa Jawa dapat digolongkan bersendikan persebarannya menjadi tiga, yaitu 1 dialek-dialek barat, 2 dialek-dialek tengah, dan 3 dialek-dialek timur. Penjabarannya adalah perumpamaan berikut[82] Dialek-dialek nan dipertuturkan di wilayah barat Kulon Banyumas–Bagelen Indramayu–Cirebon Tegal–Brebes–Pemalang-Pekalongan Banten Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah tengah Tengah Surakarta–Yogyakarta Madiun–Kediri–Blitar Semarang–Demak–Bersih–Jepara Blora–Rembang–Pati Dialek-dialek yang dipertuturkan di area timur Wetanan Surabaya–Malang–Pasuruan Banyuwangi basa Using Tingkat ucap Informasi lebih lanjut mengenai tinggi bahasa Ngoko dan Krama Percakapan bahasa Jawa yang menunggangi tingkat tutur krama Bahasa Jawa punya sejumlah tingkat tutur, atau ragam bahasa nan berhubungan dengan etika pembicara pada lawan wicara atau turunan yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-situasi sebagaimana derajat tingkat sosial, nasib, jarak kekerabatan dan keakraban.[83] [84] Perbedaan antara tingkat ujar dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada glosari serta afiks nan digunakan.[16] Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata n domestik bahasa Jawa boleh digolongkan menjadi tiga, adalah 1 ngoko, 2 madya, dan 3 krama.[83] Bagan ngoko digunakan lakukan bertutur kepada makhluk yang sanding dengan pembicara. Bentuk krama, yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan lakukan berucap secara formal kepada individu yang belum akrab atau derajat sosialnya makin janjang. Beberapa imbuhan juga mempunyai padanan krama. Sementara itu, lembaga madya jumlahnya amat kurang, hanya sekitar 35 kosakata khusus, dan digunakan bikin menyusun derajat formalitas yang menengah.[15] [85] [86] Selain tiga ragam leksikon yang didasarkan lega derajat ritual, terserah pula keberagaman kosakata nan digunakan untuk menandakan sanjungan honorific atau perendahan diri humilific, yaitu krama inggil dan krama andhap.[86] [87] Bagan krama inggil digunakan bagi merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya. Bentuk krama andhap digunakan bikin merujuk pada hal-keadaan yang ditujukan pembicara ataupun individu bukan kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa kata ganti orang juga memilki padanan krama andhap.[86] Karena bentuk krama inggil dan krama andhap enggak penanda derajat seremoni, glosari jenis ini bisa digunakan privat semua tingkat tutur.[86] [87] Jumlah seluruh kosakata dalam kategori ini adalah selingkung 280 buah.[15] Padu-padan glosari dari kategori-kategori ini menciptakan menjadikan tiga tingkat ujar kalimat, sesuai nama kosakata utama yang digunakan, merupakan ngoko, madya, dan krama, yang masing-masingnya juga mempunyai beberapa subtingkat. Pilihan pemanfaatan tingkat sebut ini bergantung puas keakraban atau kedekatan kontak antara pembicara dengan rival bicaranya. Perbedaan antara subtingkat n domestik setiap tingkat ucap biasanya tergantung pada eksploitasi leksikon krama inggil dan krama andhap yang menandakan penghormatan penceramah kepada oponen bicara yang memiliki gengsi sosial yang lebih tataran.[88] Keterangan ^ Definisi “Melayik” Dyen berbeda dengan definisi yang dipedulikan para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen n kepunyaan cakupan yang lebih luas, tercantum di antaranya bahasa Madura dan bahasa Aceh. ^ Ultima merujuk plong tungkai pengenalan ragil sebuah perkenalan awal. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima adalah tungkai kata ketiga berusul belakang. ^ Aksara /n/, /l/, /r/, dan /s/ serta /z/ ditandai umpama fonem dental dalam kajian Ogloblin 2005, alveolar dalam analisis Wedhawati, dkk 2006, dan retrofleks dalam analisis Nothofer 2009. Fonem /t/ dan /d/ secara konsisten selalu ditandai seumpama konsonan dental; Wedhawati, dkk 2006 secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan “apiko-dental”, yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.[37] ^ Kedua konsonan ini ditandai sebagai “apiko-palatal” oleh Wedhawati, dkk 2006. ^ Wedhawati, dkk 2006 tidak memasukkan /ʃ/ dan /x/ misal fonem pinjaman n domestik bahasa Jawa. ^ Kluster homorganik merupakan perkariban konsonan yang diucapkan plong satu tempat pengujaran yang setara, sama dengan /mb/ dan /nd/. ^ Varian dhèwèkné, dhèkné, dan dhèknéné juga masyarakat ditemui.[45] ^ Panjenengané dipakai dalam konteks ngoko, sementara panjenenganipun dipakai dalam konteks krama.[44] ^ Valensi adalah konsep penyelenggaraan bahasa tentang wasilah antara verba dengan jumlah argumen yang dirujuk olehnya. Semakin janjang valensi sebuah verba, semakin banyak argumen yang bisa dirujuk olehnya. Verba intransitif, misalnya, mempunyai valensi terkecil, karena sekadar bisa merujuk pada suatu argumen cuma. Rujukan Catatan kaki ^ a b Naim & Syaputra 2022, hlm. 47. ^ a b “Ordinansi Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2022 tentang Penjagaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Fonem Jawa” – via Database Peraturan JDIH BPK RI. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. 2019. “Javanesic”. Glottolog Jena, Jerman Max Planck Institute for the Science of Human History. ^ a b Dyen 1965, hlm. 26. ^ a b c d e f Nothofer 2009, hlm. 560. ^ Nothofer 1975, hlm. 1. ^ Blust 1981. ^ a b Adelaar 2005, hlm. 357, 385. ^ a b c d e f g h Ogloblin 2005, hlm. 590. ^ Blust 2022, hlm. 97. ^ Smith 2022, hlm. 443, 453–454. ^ a b c Wedhawati, dkk 2006, hlm. 1. ^ a b c Wedhawati, dkk 2006, hlm. 2. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 8. ^ a b c d e f g h Ogloblin 2005, hlm. 591. ^ a b Poedjosoedarmo 1968, hlm. 57. ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 11. ^ a b Wedhawati, dkk, hlm. 1. ^ Naim & Syaputra 2022, hlm. 53. ^ “Peraturan Daerah Provinsi Jawa Paruh No. 9 Masa 2012” – via ^ Putra, Yudha Manggala P. 2015-09-03. “Pertahankan Bahasa Lokal Sebagai Identitas”. Republika Online . Diakses tanggal 2021-03-20 . ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 14. ^ a b Subroto, Soenardji & Sugiri 1991, hlm. 13–15. ^ Ogloblin 2005, hlm. 592–593. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 14–15, 17–18, 21–22. ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 27. ^ a b c d e f g Ogloblin 2005, hlm. 593. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 66. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 67. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 68–69. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 69–70. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 70–71. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 71–72. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 70. ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 73–74. ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 592. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 80. ^ a b Ladefoged & Maddieson 1996, hlm. 63–64. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 75, 81, 91–92. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 97. ^ Ogloblin 2005, hlm. 593–594. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 268. ^ a b c Ogloblin 2005, hlm. 598. ^ a b c d Robson 2022, hlm. 1. ^ a b Uhlenbeck 1982, hlm. 242. ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 239. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 268–269. ^ a b Uhlenbeck 1982, hlm. 236, 248, 264, 268, 276, 279, 283. ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 270–275. ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 248–249. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 270. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 243. ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 608. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 252. ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 305. ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 608–609. ^ a b c Conners 2008, hlm. 235. ^ a b Uhlenbeck 1982, hlm. 133. ^ Conners 2008, hlm. 200, 237–238. ^ a b c d e Ogloblin 2005, hlm. 600. ^ Ogloblin 2005, hlm. 610–611. ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 605. ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 600, 603. ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 135. ^ Ogloblin 2005, hlm. 606. ^ Subroto, Soenardji & Sugiri 1991, hlm. 111. ^ a b Gaul aksara Jawa. Javaholic Genk Kobra Community,, LKiS Pelangi Aksara, edisi ke-Tempaan I. Yogyakarta. ISBN 978-602-0809-08-3. OCLC 953823997. ^ Kozok, Uli. 1999. Warisan kakek moyang sastra lama dan fonem Batak. École française d’Extrême-Orient., Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta [Indonesia] Ecole française d’Extrême-Orient. ISBN 979-9023-33-5. OCLC 46390839. ^ Djoko Dwiyanto, 1953- 2009. Kraton Yogyakarta sejarah, nasionalisme & abstrak perjuangan edisi ke-Cet. 1. Yogyakarta Acuan Indonesia. ISBN 978-979-17834-0-8. OCLC 320349826. ^ Okezone 2008-02-04. “Solo Wajibkan Huruf Jawa di Papan nama Okezone News”. . Diakses tanggal 2019-12-25 . ^ widjanarko, Tulus 2017-05-12. “Papan Nama Perkembangan di Yogyakarta Akan Tampil Antik dan Partikular”. Tempo intern bahasa Inggris. Diakses tanggal 2019-12-25 . ^ “BUDAYA – Mengenal Leter Arab Pegon Tanda baca Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara”. Diakses tanggal 2019-09-05 . ^ “Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Zaman dulu”. Poskota News dalam bahasa Inggris. 2022-07-01. Diarsipkan semenjak versi zakiah terlepas 2022-09-05. Diakses tanggal 2019-09-05 . ^ Sastra Jawa suatu tinjauan umum. Sedyawati, Edi, 1938- edisi ke-Cet. 1. Jakarta Pusat Bahasa. 2001. ISBN 979-666-652-9. OCLC 48399092. ^ Dipodjojo, Asdi S. 1996. Memisalkan titimangsa suatu skenario. Yogyakarta Lukman Ofset Yogyakarta. ISBN 979-8515-06-4. OCLC 38048239. ^ Nala, Ngurah, 1936-2010. 2006. Aksara Bali dalam Usada edisi ke-Cet. 1. Surabaya Pāramita. ISBN 979-722-238-1. OCLC 170909278. ^ Rochkyatmo, A. 1996. Perawatan dan Modernisasi Aksara Daerah Kronologi Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa. Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan. ^ Conners 2008, hlm. 19. ^ Conners 2008, hlm. 20. ^ Conners 2008, hlm. 20–21. ^ Ras 1979, hlm. 1–2. ^ Ras 1985, hlm. 304–306. ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 10. ^ Poedjosoedarmo 1968, hlm. 56–57. ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 10–11. ^ a b c d Poedjosoedarmo 1968, hlm. 57–58. ^ a b Robson 2022, hlm. xvii. ^ Poedjosoedarmo 1968, hlm. 58–59. Daftar pustaka Adelaar, Karl Alexander 2005. “Malayo-Sumbawan”. Oceanic Linguistics. University of Hawai’i Press. 44 2 356–388. doi Blust, Robert 1981. “The reconstruction of proto-Malayo-Javanic an appreciation”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Brill. 137 4 456–459. JSTOR 27863392. Blust, Robert 2010. “The Greater North Borneo Hypothesis”. Oceanic Linguistics. University of Hawai’i Press. 49 1 44–118. JSTOR 40783586. Conners, Thomas J. 2008. Tengger Javanese Doktoral. New Haven Yale University. Dyen, Isidore 1965. A lexicostatistical classification of the Austronesian languages. Baltimore Waverly Press. Ladefoged, Peter; Maddieson, Ian 1996. The Sounds of the World’s Languages. Oxford Blackwell. ISBN 9780631198154. Naim, Akhsan; Syaputra, Hendry 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus penduduk 2022. Jakarta Badan Sosi Statistik. ISBN 9789790644175. Nothofer, Berndt 1975. The reconstruction of Proto-Malayo-Javanic. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 73. Den Haag Martinus Nijhoff. ISBN 9024717728. Nothofer, Berndt 2009. “Javanese”. Dalam Keith Brown; Sarah Ogilvie. Concise Encyclopedia of Languages of the World. Oxford Elsevier. hlm. 560–561. ISBN 9780700712861. Ogloblin, Alexander K. 2005. “Javanese”. Dalam K. Alexander Adelaar; Nikolaus Himmelmann. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London dan New York Routledge. hlm. 590–624. ISBN 9780700712861. Poedjosoedarmo, Soepomo 1968. “Javanese Speech Levels”. Indonesia. Cornell University Press. 6 54–81. JSTOR 3350711. Ras, Johannes Jacobus, ed. 1979. Javanese Literature since Independence. Den Haag Martinus Nijhoff. ISBN 9789004287198. Ras, Johannes Jacobus 1985. Inleiding tot het modern Javaans. Dordrecht, Belanda dan Cinnaminson, AS Foris Publications. ISBN 9789067650731. Robson, Stuart Owen 2014. Javanese Grammar for Students A Graded Introduction. Clayton, Victoria Monash University Publishing. ISBN 9781922235374. Smith, Alexander D. 2017. “The Western Malayo-Polynesian Penyakit”. Oceanic Linguistics. University of Hawai’i Press. 56 2 435–490. doi Subroto, Daliman Edi; Soenardji; Sugiri 1991. Tata bahasa deskriptif bahasa Jawa. Jakarta Departemen Pendidikan dan Peradaban. Uhlenbeck, Eugenius Marius 1982. Kajian morfologi bahasa Jawa. Indonesian Linguistics Development Project. 4. Jakarta Penerbit Djambatan. Wedhawati, dkk 2006. Pengelolaan bahasa Jawa mutakhir. Yogyakarta Kanisius. ISBN 9789792110371. Wacana lanjutan Errington, James Joseph 1988. Structure and style in Javanese a semiotic view of linguistic etiquette. Philadelphia University of Pennsylvania Press. ISBN 9780812281033. Suharno, Ignatius 1982. A Descriptive Study of Javanese. Pacific Linguistics. D45. Pacific Linguistics, The Australian National University. doi Poedjosoedarmo, Soepomo 1982. Javanese influence on Indonesian. Pacific Linguistics. D38. Pacific Linguistics, The Australian National University. doi Zoetmulder, Petrus Josephus 1974. Kalangwan A survey of Old Javanese literature. Translation series Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 16. Den Haag Martinus Nijhoff. ISBN 9789024716746. Pranala asing Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa PUEBJ digitalisasi bahasa dan sastra Jawa Leksikon di pusparagam kamus, muradif, dan glosarium bahasa Jawa yang dikompilasi semenjak berbagai sumber Kamus Indonesia-Jawa—kamus dua bahasa terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Perdua SEALang Library Javanese Lexicography—memuat kamus dua bahasa Jawa-Inggris berdasarkan kamus Robson & Wibisono 2002 serta korpus ekabahasa Jawa dikompilasi dari berbagai sumber internet Berikut ini adalah penjelasan tentang iso dalam Kamus Jawa-Indonesia isousus hewan sembelihan Lihat jugaisinanisingisisisoisoristifaristijabistikarohithak-ithikithar-ithir Jakarta - Bahasa Jawa merupakan satu di antara bahasa daerah yang kaya akan kearifan lokal dan tradisi lisan. Satu di antara bentuk ungkapan dalam budaya Jawa adalah melalui pantun, yaitu sebuah puisi pendek yang terdiri dari dua baris dengan irama khusus. Pantun nasihat dalam bahasa Jawa memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan-pesan bijak kepada pendengar atau pembacanya. Lirik Lagu Still Love You - Lee Hong Gi, Yoo Hwe Seung 5 Cara Mudah dan Praktis Mengolah Daging Kurban agar Empuk dan Tidak Alot 10 Cara Terbaik untuk Meningkatkan Fokus Melalui pantun nasihat, orang Jawa berusaha untuk mengajak masyarakat untuk hidup dalam kebijaksanaan dan kebaikan. Pantun nasihat dalam bahasa Jawa biasanya berisi nasihat-nasihat tentang kehidupan, moralitas, kerja keras, dan sikap positif dalam menghadapi berbagai situasi. Pantun nasihat juga bisa menjadi sarana untuk mengingatkan dan memberikan arahan kepada khalayak umum agar dapat menjalani hidup dengan baik. Ada beberapa contoh pantun nasihat dalam bahasa Jawa beserta artinya, sehingga kamu menjadikannya sebagai teladan dalam menbjalani hidup. Berikut 30 contoh pantun nasihat bahasa Jawa, yang sarat akan pesan untuk kehidupan, dikutip dari Ruangseni, Selasa 6/6/2023Berita video Luis Milla mengatakan Persib Bandung akan berjuang untuk finis papan atas pada Liga 1 musim 2023/2024, Senin 5/6/2023.Ilustrasi pantun. Photo by Yannick Pulver on Unsplash1. Sasi iki wayahe wong poso Poso iku wajib udu budaya Urip ing dunyo kudu rekoso Ben iso nguripi keluargo sedaya 2. Masak kolak isi waluh Waluh saka alas tuwo Dadi bocah ojo lumuh Ayo konco ngewani wong tuwo 3. Ojo kakehan gawe polah Mengko koyo anak wedhus Aturan kanggo cah sekolah Tangi turu ndang gage adus 4. Maling iku aja ditiru Wani maling wayah panen Ayo gage mapan turu Sesuk sekolah ndak kawanen 5. Potong rambut jenenge cukur Model anyar kaya jambul singa Ayo sedulur pada sing akur Gotong royong ngewangi tangga 6. Goreng tempe nyumet geni Tempe kanggo suguh manten Wong tuwo kudu diajeni Dadi bocah sing pangerten 7. Gunung Merapi Gunung Galunggung Endah pemandanganne saben dino Mumpung urip ojo mung binggung Perintahe Gusti Allah ndang lakonono 8. Ketemu konco ndek esuk mau Koncoku kui sifate gigih Bocah sekolah kudu sregep sinau Endah pinter lan dadi wong sugih 9. Soko Solo menyang Palur Mlaku ning dalan marai ireng Karo konco dadio sedulur Seneng susah ditanggung bareng 10. Rupa raimu kok lagi bureg Mau ketemu konco jenenge Mizi Yen mangan ojo waton wareg Mangan panganan sing akeh gizi Contoh Pantun Nasihat Bahasa JawaIlustrasi pantun. Photo by freestocks on Unsplash11. Sinau nulis karo maca Lagi nggambar macan tutul Aja seneng padhu karo kanca Yen iso akur kui betul 12. Panen pari nganggo ani-ani Dadi tani nyambi kuli Bocah nakal mesthi didukani Mirengake aja diwangsuli 13. Kewan lutung ketemu boyo Si lutung ngasi uwis kanji Poro sedulurku kito sedoyo Ayo padha sregep ngaji 14. Dadi wong ojo mung gumun Nyambut gawe ben iso koyo ngono Ijek urip ojo mung ngelamun Limang wektu ndang lakonono 15. Tepung garut jenenge pati Pati dimasak suk pas poso Urip iki kudu ngati-ati Ojo nambah-nambahi doso 16. Tuku sajadah tuku klambi koko Tukune ning daerah Cibubur Sopo wonge laku durhoko Mengko di sikso ing jero kubur 17. Santen iku kelopo parut Marut kelopo ora nganggo geni Dadi anak kudu sing nurut Karo wong tuwo aja ngwaneni 18. Dunyo iki duwene Gusti Nganggo klambi lengenne bolong Ngolek rezeki sing ati-ati Ora pareng senenge nyolong 19. Manuk tilang manuk srikiti Ing dhuwur wit ana iguana Dadi wong sing setiti Ora jajan sing ora guna 20. Mangan sate ning warung “Lumayan” Mangan karo adhik Zahran Bapak ibu urip ing bebrayan Kudu turut karo aturan Contoh Pantun Nasihat Bahasa JawaIlustrasi pantun Credit Kembang mawar kembang kantil Kembang dilarung tengah segoro Dadi uwong kok seneng ngutil Uring ing dunyo bakal sengsoro 22. Kembang kantil ngarep dupa Kanggo sembahyang Kulon Progo Ora sugih ora papa Sing penting kumpul karo keluargo 23. Dandhang gulo tembang sinom Nembang ngasi wayah magrib Mumpung iseh wong enom Kerjo becik nggo sangu urip 24. Mangan iwak diolah babat Nembang lagu judule pangkur Kowe aja kakehan sambat Akehi ibadah lan syukur 25. Dino minggu wayahe lungga Lunggo menyang candi ratuboko Sopan santun karo tangga Supaya ora dadi anak durhako 26. Makani pithik, pithik walik Anak bebek diarani piyik Diajar becik saka cilik Mbesuk gede dadi wong apik 27. Numpak sepur ditarik jib Semilir angin ngasi turu Sregep sinau kui wajib Ora didukani ibu guru 28. Wit gedhang with mahoni Wit-witan subur cedhak wit pakel Ojo mung ngomong ning dilakoni Ngomong gampang ngelakoni angel 29. Wit lombok cedak wit pandan Iki wit-witanne jare wong mlarat Zaman iki zamanne edan Akeh uwong ra eling akherat 30. Ketemu konco sing lagi nagih Manuk dara manuk bangau Wong berhasil mesti sugih Amargo mbiyen sregep sinau Sumber Ruangseni Yuk, baca artikel contoh lainnya dengan mengeklik tautan ini. Connection timed out Error code 522 2023-06-15 053238 UTC What happened? The initial connection between Cloudflare's network and the origin web server timed out. As a result, the web page can not be displayed. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not completing requests. An Error 522 means that the request was able to connect to your web server, but that the request didn't finish. The most likely cause is that something on your server is hogging resources. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d786e439cdb0a49 • Your IP • Performance & security by Cloudflare

iso artinya dalam bahasa jawa